Kamis, 21 Mei 2009


Bahasa Ibu

BAHASA JAWA, BAHASA IBU YANG MULAI LUNTUR
Oleh: Warsito*
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang adiluhung, karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan adat-istiadat masyarakat Jawa. Bahasa ibu tersebut juga sangat menonjolkan akan pentingnya penghargaan dan penghormatan bagi orang tua atau yang dituakan, ataupun yang dihormati. Hal ini bukan berarti dalam tingkatan-tingkatannya ada unsur kasta, namun hanya sebagai bentuk penyesuaian terhadap setiap tingkatan (strata sosial) masyarakat Jawa. Karena di lingkungan suku Jawa, dahulu memang ada golongan-golongan tertentu yang dianggap sebagai kaum ningrat (bangsawan), di samping juga adanya masyarakat umum (orang biasa) yang harus disesuaikan dalam mempergunakan bahasa tersebut.
Namun demikian, bila kita amati secara seksama bahasa Jawa begitu halus dan hormat dalam penggunaannya, baik dalam bahasa lisan maupun tulis. Berbeda dengan bahasa Melayu (Indonesia, red) misalnya. Bahasa tersebut tidak memiliki tingkatan halus, sedang, dan kasar sehingga dinilai kurang fleksibel dalam hal tata krama. Memang, sebagai kelebihannya bahasa Indonesia cenderung lebih mudah dalam penggunaannya, sehingga anak kecil pun dengan mudahnya dapat meniru (nyanthik, Jawa) tanpa banyak menemui kesulitan. Apa lagi dengan munculnya berbagai bentuk drama, seperti: sandiwara radio, sinetron, dan film di televisi jelas akan sangat membantu proses percepatan anak dalam berbahasa Indonesia. Pada hal, di sisi lain proses belajar-mengajar di sekolah pun menggunakan bahasa Indonesia, sehingga nyaris tak ada kesulitan bagi anak untuk berbicara dalam bahasa Indonesia.
Berbeda dengan bahasa Jawa. Sekarang bahasa tersebut sepertinya sulit untuk dipraktikkan dalam pergaulan umum, terutama di lingkungan kita, masyarakat Jawa. Berbahasa secara lisan saja sulit apa lagi dalam bahasa tulis. Hal ini sebenarnya sudah tampak dan menggejala bagi kita umumnya maupun pada anak-anak kita khususnya. Maksud tulisan ini diangkat bukan berarti penulis ingin “Jawani” melainkan menyikapi kondisi budaya kita, sebagai orang Jawa yang sudah mulai jauh berubah dari tatanan budaya dan bahasa Jawa yang halus dan lembut menjadi budaya yang kasar dan kurang beretika. Kita bisa melihat, bagaimana anak sekarang berbicara dengan orang tua, murid atau mahasiswa berhadapan dengan guru/dosen mereka, atau bawahan dengan atasannya, dan lain-lain.
Karena itulah, mestinya kita perlu mencari sebab-sebab mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah pudarnya bahasa Jawa sebagai bahasa ibu disebabkan karena pengaruh media dan budaya asing? Mungkinkan anak-anak kita bisa mempraktikkan kembali bahasa tersebut, terutama dalam tataran lingkungan keluarga?
Orang tua sekarang sepertinya lebih senang dan bangga apabila anak-anak kita bercakap-cakap dalam dialek Melayu atau bahasa Indonesia. Namun kita tak pernah berpikir bahwa dalam lingkungan masyarakat Jawa (sekali lagi bukan ingin Jawani) bahasa Jawa merupakan bahasa yang dapat dirasakan kehalusannya, lebih menghormati dan menghargai kepada lawan bicara terutama orang tua atau yang dituakan. Karena dalam berbicara dikenal istilah unggah-ungguh sehingga tidak mungkin dalam suasana santai misalnya, anak-anak duduk seenaknya di hadapan orang tua, sambil bicara anak mengangkat kakinya di kursi, murid yang berdiri di depan meja gurunya dengan seenaknya tangan diletakkan di atas meja guru tersebut, dan sebagainya. Meskipun dalam hal ini kita bebas berekspresi, bersenda gurau, namun tetap dapat menjaga etika dan kesopanan sehingga tidak sampai kebablasan, atau paling tidak dianggap kurang sopan. Inilah fungsi bahasa Jawa yang tidak sekedar hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai salah satu sarana pengendali terhadap pelanggaran nilai-nilai budaya (timur) yang kita anut.
Bagaimanapun derasnya arus budaya (asing) seperti: bermunculannya mode, sinetron, konser musik, film kartun, film kolosal, dan bahkan tayangan-tayangan yang tak pantas ditonton dan banyak diputar di berbagai media audio visual sekarang ini, sudah jelas memiliki andil dan peranan yang sangat besar dalam membentuk pola kepribadian kita sebagai orang Jawa sekaligus sebagai orang Indonesia, apalagi anak-anak kita. Hal itu akan jelas semakin mengendorkan bahkan melepaskan ikatan budaya dan adat-istiadat bangsa kita sendiri. Media memang merupakan senjata yang sangat ampuh dalam mempengaruhi opini publik termasuk merubah dan merusak etika dan moralitas bangsa. Ini termasuk salah satu sebab yang mendasar bagi anak-anak kita sekarang sehingga mereka tidak lagi mengenal bahasa ibu mereka, terlebih lagi dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Meskipun di sekolah ada matapelajaran muatan lokal, tetapi tetap saja tidak ada artinya. Di samping itu, matapelajaran tersebut hanya sekali dalam seminggu yang tidak sebanding dengan seringnya mereka menonton acara televisi setiap saat.
Orang tua sekarang juga kurang menyadari akan arti pentingnya berkomunikasi dengan berbahasa Jawa dengan anak-anak. Entah karena alasan lingkungan pergaulan anak yang menuntut anak-anak harus berbicara dengan bahasa Indonesia, atau karena merasa gengsi kalau anak-anak kita tidak menggunakan bahasa Indonesia, sehingga kapan pun dan dimanapun tetap saja menggunakan bahasa Indonesia ketika bercakap-cakap dengan anak. Oleh karena itu, orang tua sekarang dapat dikatakan telah ikut serta dalam menanamkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan anak berbahasa Jawa sekaligus mengikis keberadaan bahasa Jawa tersebut sebagai bahasa ibu dari orang Jawa. Dengan demikian, tanpa adanya upaya pelestarian bahasa Jawa sebagai bahasa dan budaya milik masyarakat Jawa, maka tak ayal bahasa itu pun bisa lenyap dan tidak dikenal lagi oleh generasi kita.
Perlunya Melestarikan Bahasa Jawa
Sebenarnya, mempelajari bahasa Jawa pun tidak lah sulit. Sebagaimana kita juga mempelajari bahasa-bahasa yang lain, yakni perlunya mempraktikkan sehari-hari. Tanpa adanya latihan berbicara mustahil kita akan bisa. Begitu pula kita dalam mengajari berbahasa Jawa pada anak-anak kita. Dalam hal ini, kita sebaiknya selalu berkomunikasi dengan anak sejak masih kecil, bahkan ketika masih bayi dengan bahasa Jawa yang baik dan benar.
Memang, ada kalangan keluarga tertentu yang masih ketat dalam mempraktikkan bahasa Jawa di dalam lingkungan keluarganya. Walhasil, anak-anak akan senantiasa menggunakan bahasa itu walaupun sampai tua. Kelak, anak kita dapat berbahasa sesuai dengan tujuan bahasa Jawa, yakni sesuai aturan dan unggah-ungguh sehingga kita sendirilah sebagai orang tua yang akan memetik hasilnya. Kita, sebagai orang tua juga tentu akan merasa senang dan bangga karena anak-anak kita senantiasa tahu akan tata krama dan unggah-ungguh, menghormati kita sebagai orang tua, di samping juga kepada orang lain tentunya.
Bukankah bangsa lain pun masih ada yang sudi belajar bahasa Jawa, mengapa kita malah tidak? Tidak tahukah kita bahwa sumber rujukan bahasa Jawa utama kita kini telah diboyong di negeri kincir angin itu? Dengan kemampuan kita mempergunakan bahasa Jawa di lingkungan keluarga kita, berarti kita ikut mengajari anak-anak kita sekaligus membantu melestarikan (nguri-uri) budaya dan bahasa Jawa kita sebagai bahasa ibu.
*Warsito, A. Md., pemerhati masalah sosial, tinggal di Banyumas

Sabtu, 09 Mei 2009

Banyumas Kota Lama

Banyumas merupakan kota kecil yang berada di sebelah selatan tepi Sungai Serayu. Sebagai bekas pusat pemerintahan (kabupaten), kota budaya ini masih terlihat kental dengan nuansa kerajaananya, sebagaimana lingkungan kasultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Ciri khusus yang tampak sebagai bekas pusat kerajaan adalah adanya pendopo yang megah beserta gedung-gedung perkantoran dan rumah dinas bupati, alun-alun yang membentang dan di tengahnya ada dua buah beringin kurung yang megah dan rimbun. Adapun sebelah barat alun-alun ada masjid, sedangkan sebelah timur ada bangunan penjara.
Namun demikian, nuansa kekabupatenan tersebut sudah terasa surut seiring dengan perkembangan zaman. Apalagi sejak 7 Januari 1937 Pendopo Sipanji yang merupakan simbol kepemerintahan diboyong ke Purwokerto. Meskipun, sekarang masih tampak megah bangunan duplikatnya.
Kini Banyumas hanya merupakan sebuah kecamatan sehingga derajatnya pun turun, menjadi kota kecil yang terkesan tidak terawat, sepi, dan jauh dari investasi.
Memang, di Banyumas masih banyak infrastruktur dan institusi pelayanan publik yang tertinggal, misalnya: banyaknya sekolah negeri, rumah sakit umum, pengadilan negeri, kejaksaan negeri, museum wayang, radio siaran pemerintah daerah (sudah dicabut keberadaannya), eks karesidenen, eks kawedanan, eks pangkalan batalion 405, makam para bupati, dan sebagainya.
Perubahan yang signifikan adalah banyaknya berdiri gedung-gedung baru dan unit-unit usaha swasta.